Tawasul

Tawasul adalah berdoa kepada Allah dengan melalui wasilah (perantara). Dalam arti lain tawasul merupakan sesuatu yang dijadikan perantara untuk mendekatkan diri (tawajjuh) kepada Allah swt guna mencapai sesuatu yang diarapkan dari-Nya. Bagiamana hukum bertawasul menurut NU? simak selengkapnya
Nahdhatul Ulama
KH. A. Nuril Huda, yang pernah menjabat sebagai Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU), dalam sebuah artikelnya menulis bahwa tawassul adalah mendekatkan diri kepada Allah atau berdo‘a kepada Allah dengan mempergunakan wasilah, atau mendekatkan diri dengan bantuan perantara. Pernyataan demikan dapat dilihat dalam surat Al-Maidah ayat 35, Allah berfirman yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (al-Maidah: 35)
Dalam buku Antologi NU diterangkan bahwa, bertawasul dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1. Melalui tindakan (iman dan amal sholeh). Ulama madzhab Hambali menyebtukan bahwa bertawasul dengan iman, ketaatan dan amal saleh, merupakan salah satu bentuk bertawasul dengan shiratal mustaqim, yaitu mendekatkan diri kepada Allah swt dengan apa yang dibuat oleh Nabi Muhammad saw.
2. Melalui doa. Antara lain dengan menyebut amal saleh yang pernah dilakukan. Tuuannya berwasilah dalam berdoa agar doa yang disampaiakan itu diterima oleh Allah swt. Juhur ulama menyepakati cara tersebut sebagaimana hadist diriwayatkan bukhari dan Muslim tentang tiga orang yangt erkurung di dalam goa. Untuk bisa keluar dari goa mereka berdoa sambil bertawasul dengan amal yang pernah diperbuatnya,
3. Malaui dzat, sifat-sifat dan nama-nama Allah swt. (asmaul Husna). Sebagaimana firman Allah yang artinya:
Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. Al-A‘raf: 180)
4. Dengan syafaat Nabi Muhamamd saw di akhirat nanti. Ulama ahlussunah waljamaah berpenapat bahwa semua kaum muslimin akan mendapat syafaat dari rasulullah. Termasuk mereka yang di dunia melakukan dosa besar.
5. Melalui panggilan. Tawasul dalam bentuk ini dilakukan dengan cara memanggil orang yang paling dicintai. Menurut Sayid Muhammadi Malik al-Maliki, bertawasul seperti ini hukumnya boleh. Berdsarkan beberapa riwayat, antara lain: ―Mujahid meriwayatkan bahwa dia melihat seseorang sakit kakinya di dekat Ibnu Abbas. Lantas Abbas berkata: ―Sebutlah nama seseorang yang engkau cintai. Orang sakit tersebut lantas menyebut nama Muhamamd saw. Dengan segera tampak rasa sakit dan lemah kakinya sembuh. Dalam keterangan lain, disebutkan bahwa bertawasul juga bisa dilakukan dengan orang yang sudah meninggal. Orang yang sudah meninggal yang dijadikan wasilah biasanya adalah para Nabi, wali, dan orang-orang yang dipercaya kesalehannya. Kaum NU sering melakukan tawasul dengan berziarah ke makammakam para wali. Dalil dibolehkannya bertawasul dengan orang yang sudah meninggal adalah firman Allah surat an-Nisa ayat 64 yang artinya:
Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang..(QS.An-Nisa‘ :64).

Sebagaimana tersebut dalam Risalah Amaliyah Nahdhiyin (PCNU Kota Malang), bahwa ayat di atas adalah bersifat umum ('amm) mencakup pengertian ketika beliau masih hidup dan ketika sesudah wafat dan berpindahnya ke alam barzah.
Pendapat Para Imam Sekitar Mengikuti Sunnah dan Meninggalkan Pendapat-Pendapat yang Bertentangan Dengannya.

1. Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit
a. Bila suatu hadits itu benar maka itulah mazhabku
b. Tidak dibolehkan bagi seseoragn untuk mengambil pendapat kami bila tidak mengetahui darimana kami mengambilnya. Dalam sebuah riwayat disebutkan ”Haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku berfatwa dengan pendapat saya” Dalam riwayat lain ditambahkan ”Sesungguhnya kita adalah manusia yang mengemukakan pendapat hari ini dan berubah pendapat pada keesokan harinya”. Disebutkan juga dalam riwayat lain ”Apa-apaan engkau wahai Ya’kukb! (Abu Yusuf), jangan engkau tulis semua yang kau dengan dariku. Karena aku mengemukakan pendapat hari ini dan keesokan harinya mungkin aku meninggalkannya. Besok aku berpendapat sesuatu dan lusanya aku tinggalkan”
c. Apabila aku mengemukakan suatu pendapat yang bertentangn dengan kitab Alloh dan khabar dari Rasulullah SAW, hendaknya kalian meninggalkan pendapatku.
2.  Malik Bin Annas
a. Sesungguhnya aku adalah manusia yang terkadang salah dan terkadang benar, maka lihatlah pendapatku. Apabila sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah maka ambillah. Setiap yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah, tinggalkan.
b. Setiap perkataan orang boleh dipakai atau ditinggalkan kecuali perkataan Nabi SAW.
c. Ibu Wahab berkata : ”Aku mendengar Malik ditanya tentang menyela-nyela jari-jari kedua kaki dalam wudlu. Ia berkata ’Hal itu tidak wajib’. Lalu saya meninggalkannya sampai orang-orang yang mengelilinginya sedikit. Saya katakan kepadanya, ’Hal ini menurut kami sunnah’ Malik bertanya ’Apa haditsnya?’ Saya menjawab ’Dikatakan Laits bin Sa’ad, Ibnu Luhai’ah dan Amru bin Harits, dari Yazid bin Amru al-Ma’afiri, dari Abu Abdurrahmanal-Habli, dari al-Mustaurid bin Syadad al-Qurasyi, ia berkata ’Aku melihat Rasulullah SAW menggosokkan jari-jari manisnya pada cela-cela jari kedua kakinya’ Lalu Malik menyela ’Hadits ini hasan, aku tidak pernah mendengarnya kecuali sekarang ini.’ Kemudian di lain waktu ia ditanya dengan masalah yang sama dan ia menyuruh agar menyela-nyela jari-jari kedua kakinya.”
3. Imam Syafi’i
a. Tidak ada seorangpun yang bermazhab melainkan mazhab Rasulullah SAW. Apapun pendapat yang saya kemukakan atau yang saya sarikan sedangkan terdapat hadits yang bertentangan dengan pendapatku maka yang benar adalah sabda Rasulullah SAW. Itulah pendapatku.
b. Umat Islam telah berijma bahwa orang yang telah mengetahui sebuah hadits dari Rasulullah SAW maka tidak boleh meninggalkannya untuk mengambil pendapat seseorang.
c. Jika kalian mendapati dalam kitabku yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW maka ambillah sunnah Rasulullah SAW dan tinggalkanlah pendapatku. Dalam sebuah riwayat dikatakan ’Maka ikutilah dan janganlah kalian mengikuti pendapat siapapun’
d. Bila sebuah hadits dinyatakan sahih, maka itulah mazhabku.
e. Kalian lebih mengetahui hadits dan rawi-rawinya daripada aku. Bila suatu hadits dinyatakan sahih maka beritahukanlah kepadaku darimanapun asalnya, dari Kufah, Basrah atau Syam. Bila benar sahih aku akan menjadikannya mazhabku.
f. Setiap masalah yang ada haditsnya dari Rasulullah SAW menurut ahli hadits yang bertentangan dengan pendapatku, niscaya aku cabut pendapatku baik selama aku masih hidup atau setelah matiku.
g. Bila kalian melihatku mengemukakan suatu pendapat, dan ternyata ada hadits sahih yang bertentangan dengan pendapatku maka ketahuilah bahwa pendapatku tidak pernah ada.
h. Semua yang aku ucapkan sedangkan ada hadits Rasulullah SAW yang sahih bertentangan
dengan pendapatku maka hendaknya diutamakan hadits Rasulullah SAW, janganlah bertaklid
kepadaku.
i. Setiap hadits yang sahih dari Rasulullah SAW adalah pendapatku, sekalipun kalian tidak
mendengarnya darikuk.
4. Ahmad bin Hambal
Imam Hambali adalah seorang imam yang terbanyak mengumpulkan hadits dan yang paling teguh memegangnya. Bahkan ia tidak mau menyusun buku yang mencakup furu’ dan ra’yu. Karena itu ia berkata sebagai berikut.
a. Janganlah bertaklid kepadaku, Malik, Syafi’i, Auza’i dan tidak pula Tsuri, ambillah dari apa
yang meraka ambil. (Dalam sebuah riwayat dikatakan : Janganlah bertaklid dalam masalah
agama kepada para Imam, ikutilah apa yang dapat dari Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Sedangkan dari tabi’in boleh memilihnya (menolak atau menerima).
b. Al-Auza’i berpendapat, Malik berpendapat, dan Abu Hanifah berpendapat. Menurutku
semuanya adalah ra’yu, sedangkan yang dapat dijadikan hujjah dalam masalah-masalah agama adala atsar (hadits).
c. Barangsiapa menolak hadits Rasulullah SAW maka ia berada di tepi kehancuran.


Demikian pendapat-pendapat para imam dalam masalah berpegang teguh pada hadits, dan larangan bertaklid tanpa pengetahuan. Masalahnya sangat jelas tanpa perlu perdebatan dan penakwilan. Yaitu barangsiapa berpegang teguh terhadap hadits, seklipun bertentangan dengan pendapat para imam, tidak berarti menyalahi pendapat mazhab yang dianut dan juga tidak berarti telah keluar dari jalan yang ditempuh mazhabnya. Bahkan dengan demikian telah mengikuti jalan dan pendapat para imam, telah berpegang pada tali yang kuat yang tidak dapat dipisahkan. 
Perselisihan Ulama dalam Menghitung Jumlah Ayat

Adanya perselisihan ulama dalam menghitung ayat Al-Qur’an disebabkan karena sebagian mereka memandang fawatih as-suwar = pembuka surat seperti alif lam mim, suatu ayat sendiri. Ulama lain tidak menjadikannya suatu ayat sendiri.
Dan karena berlainan pendapat dalam menentukan fashilah. Umpamanya ayat A, oleh sebagian mereka dipandang suatu ayat dan sebagian yang lain memandang dua ayat. Namun demikian, mereka semua sependapat bahwa seluruh al-Qur’an itulah yang ada sekarang di dalam mushhaf. Tidak ada suatu ayat pun yang hilang.

Fashilah adalah suatu istilah yang diberikan kepada kalimat yang mengahiri ayat yang merupakan akhir ayat. Dan mempunyai nilai dalam menyempurnakan makna dan mempunyai atsar (pengaruh) dalam susunan kalam.
Mengenai bilangan ayatnya, ulama berbeda pendapat. As-Sayuthy dalam Al-Itqan berkata: “Al-Wafi mengatakan bahwa mereka telah berijma’ bahwa bilangan ayat al-Qur’an 6000 (enam ribu) ayat. Kemudian mereka berselisih tentang beberapa kelebihan dari enam ribu itu. Ada yang tidak melebihi lagi, ada yang melebihkan sebanyak 204 ayat, ada yang mengatakan 124 ayat dan ada yang mengatakan 236 ayat.”
Apabila kita perhatikan mushhaf yang dicetak atas perintah Malik Fuad dan kita perhatikan penegasan lajnah yang dibentuk untuk menulis mushhaf yang dikepalai oleh Hafni Bek nashif yang diawasi oleh ulama-ulama Azhar, kita akan mendapatkan bahwa panitia itu berkata: “kami mengikuti dalam menghitung ayat-ayat al-Qur’an perjalanan ulama-ulama Kaffah yang diterima dari Abu Abd ar-Rahman, Abdullah Ibn Habib as-Salamy dari Ali ibn Abi Thalib, menurut keterangan yang terdapat dalam kitab Nadhimah az-Zahri susunan Syathiby dan syarahnya susunan Abu Abdillah al-Mughallati serta berdasar kepada uraian kitab Abd al-Qasim Umar ibn Muhammad ibn Abd al-Kafi dan kitab Tahqiq al-Bayan susunan Syekh Muhammad al-Mutawali pemuka qurra di Mesir bahwa ayat al-Qur’an menurut hitungan mereka adalah berjumlah 6.236 (enam ribu dua ratus tiga puluh enam) ayat. Ini sesuai dengan riwayat yang terakhir dari keterangan Al-Wafi ad-Dani.
Menurut hitungan al-Alusi dalam tafsir Ruh al-Ma’ani jumlah bilangan ayat al-Qur’an yang dimasyhurkan ialah 6.616 (enam ribu enam ratus enam belas) ayat. Pendapat inilah yang disangka bilangan yang tepat sekali oleh sebagian para mubalig di Indonesia.
Sedikit perlu dijelaskan bahwa perhitungan jumlah ayat al-Qur’an ada lima macamnya:
a.      Hitungan ahli Makkah dilakukan oleh Abdullah ibn Katsir
b.      Hitungan ahli Madinah dilakukan oleh Abu Ja’far ibn Yazid
c.       Hitungan ahli Kuffah dilakukan oleh Abu Abd ar-Rahman as-Salamy
d.      Hitungan ahli Bashrah dilakukan oleh Ashim ibn Ajjaj

e.      Hitungan ahli Syam dilakukan oleh Abdullah ibn Amir al-Yashhaby
Dzikir Berjamaah/Istighosah

Arti istighasah adalah memohon pertolongan kepada Allah Swt. Pelaksanaan istighasah diisi dengan doa-doa dan dzikir-dzikir tertentu yang dibaca secara berjamaah dan dipimpin oleh seorang Imam istighasah. Dalil dianjurkanya istighasah, atau dzikir berjamaah antara lain al-Qur‘an surat al-Imran ayat 191:
(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

Ada sementara kalangan yang tidak menyepakati digunakannya dalil tersebut sebagai pembolehan dzikir berjamaah. Mereka mengutip pendapat dari Syaikh Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al-Khumayyis dalam “Adz-Dzikr alJama’i baina al-Ittiba’wal Ibtida‟. Menurutnya, sighat (konteks) jama’ dalam ayat di atas (yakni kata ―yadzkuruna’) adalah sebagai anjuran yang bersifat umum dan menyeluruh kepada semua umat Islam untuk berdzikir kepada Allah Swt. Tanpa kecuali, bukan anjuran untuk melakukan dzikir berjama'ah. Selain itu jika sighat jama’ dalam ayat tersebut dipahami sebagai anjuran untuk melakukan dzikir secara berjama’ah atau bersama-sama maka kita akan kebingungan dalam memahami kelanjutan ayat tersebut. Disebutkan bahwa dzikir itu dilakukan dengan cara berdiri (qiyaman), duduk (qu’udan) dan berbaring (‘ala junubihim), lalu bagaimanakah praktek dzikir bersama-sama dengan cara berdiri, duduk dan berbaring itu? Apakah ada dzikir berjama'ah dengan cara seperti ini? Selain pernyataan ketidaksepakatan tersebut, yang dipermasalahkan juga oleh mereka yang tidak sependapat adalah bahwa ayat tersebut turun kepada Rasulullah Saw. dan para shahabat berada di samping beliau. Apakah Rasulullah Saw. dan para shahabat memahami ayat tersebut sebagai perintah untuk dzikir bersama-sama satu suara? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dengan alasan Bahwa Rasulullah dan para sahabat pernah melantunkan syair (Qasidah/Nasyidah) di saat menggali khandaq (parit). Rasul Saw. dan sahabat r.a bersenandung bersama sama dengan ucapan: "Haamiiim laa yunsharuun..". Cerita ini termuat dalam buku sejarah tertua, yakni Kitab Sirah Ibn Hisyam Bab Ghazwat Khandaq. Kitab ini dikarang oleh seorang Tabi‘in sehingga datannya dianggap lebih valid. Pada bab Bab Hijraturrasul saw- bina' masjidissyarif, sebagaimana tertulis dalam Risalah Amaliyah NU, para sahabat juga bersenandung saat membangun membangun Masjidirrasul saw dengan melantunkan syair: "Laa 'Iesy illa 'Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhaajirah." Senandung para sahabat kemudian diikuti oleh Rasulullah dengan semangat. Mengenai makna berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan) dan berbaring ('alajunubihim), mengandung tafsir, bahwa ayat tersebut diatas lebih dititikberatkan kepada bagaimana tata cara orang shalat, yaitu bisa dilakukan dengan berdiri, duduk, maupun tiduran. Namun secara umum dapat juga diartikan dzikir secara lafdziy. Seseorang dapat berdzikir kepada Allah dengan segala tingkah sesuai kemampuannya. Dalam majlis dzikir, sebagian orang mungkin duduk, sebagian lagi berdiri dan mungkin ada yang tiduran tergantung kondisi masing-masing individu. Selain dalil di atas, juga ada hadis Qudsy yang menyatakan anjuran untuk berdoa, berdzikir, dengan sirran wa jahran (pelan dan terang), di dalam hati, dalam sendiri maupun berjamaah. "Bila ia (hambaku) menyebut namaKu dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam Diriku, bila mereka menyebut namaKu dalam kelompok besar, maka Aku pun menyebut (membanggakan) nama mereka dalam kelompok yg lebih besar dan lebih mulia". (HR Muslim). 
Dzikir sebelum Shalat Berjama’ah

Setelah adzan, kita tentunya kerap mendengar lantunan puji-pujian dari pengeras suara di masjid-masjid. Puji-pujian itu bisa syair yang berisi nasehat dan peringatan, shalawat (baik shalawat Nabi, Nariyah, dan lan sebaginya) maupun bacaan-bacaan dzikir yang lain. Dzikir dan syair biasanya dilakukan dengan menggunakan pengeras suara, diikuti oleh hampir seluruh orang yang hadir untuk menunggu datangnya imam shalat. Ketika imam telah datang dan iqamat dilantangkan, maka berhenti pula syair dan dzikir tersebut.
Tapi bagaimanakah sebenarnya hukum melantunkan syair dan dzikir sebelum shalat berjamaah?
KH Muhyiddin Abdusshomad telah menerangkan bahwa membaca dzikir dan syair sebelum pelaksanaan shalat berjama'ah adalah perbuatan yang baik dan dianjurkan. Anjuran ini bisa ditinjau dari beberapa sisi.
Pertama, dari sisi dalil. Terdapat hadis yang menyatakan bahwa dahulu pada masa Rasulullah Saw. para sahabat juga membaca syair di masjid. Dalam sebuah hadits:
Dari Sa'id bin Musayyab, ia berkata:
“Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, “aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu”. Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. “Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.” Abu Hurairah lalu menjawab, “Ya Allah, benar (aku telah medengarnya)”. ” (HR. Abu Dawud)
Berkaitan dengan hadis di atas, Syaikh Isma‘il az-Zain dalam Irsyadul Mu'minin ila Fadha'ili Dzikri Rabbil 'Alamin menjelaskan bahwa, melantunkan syair yang berisi puji-pujian, nasihat, pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid adalah sesuatu yang bukan dilarang oleh agama, dengan kata lain hukumnya adalah mubah.
Kedua, dilihat dari sisi syiar dan penanaman akidah umat, menurut KH Muhyiddin Abdusshomad, selain menambah syiar agama, amaliah tersebut juga merupakan strategi yang sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Karena di dalamnya terkandung beberapa pujian kepada Allah SWT, dzikir dan nasihat. Misal, lantuan dzikir istighfar berikut: Astaghfirullah, Rabbal baraya, astaghfirullah minal khathoya.

Ketiga, dari aspek psikologis, masih menurut KH Muhyiddin Abdusshomad, lantunan syair yang indah itu dapat menambah semangat dan mengkondisikan suasana. Dalam hal ini, tradisi yang telah berjalan di masyarakat tersebut dapat menjadi semacam warming up (persiapan) sebelum masuk ke tujuan inti, yakni shalat lima waktu. Selain ketiga manfaat tersebut, syair dan dzikir yang dilantunkan sebelum shalat berjamaah bisa mengobati rasa jemu sembari menunggu waktu shalat jama'ah dilaksanakan. Juga agar para jama'ah tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika menunggu shalat jama'ah dilaksanakan. Berdasarkan dalil dan hujjah di atas, maka NU tetap melanggengkan tradisi melantunkan dzikir dan syair sebelum shalat berjamaah di masjid dan mushala. Namun begitu, perlu digaris bawahi, bahwa amalaiah ini tergantung pula pada situai dan kondisi, tidak dibenarkan apabila sampai mengganggu orang yang shalat dan membuat bising masyarakat di sekitar masjid atau mushala.
DZIKIR DAN DO'A

1. Suara Pelan  
Bagi orang atau kelompok yang berdzikir dengan cara tidak dikeraskan suaranya (pelan) adalah karena mengaggap bahwa hadis yang dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah melakukan dzikir dengan suara keras yang artinya sebagai berikut:
“Dahulu kami mengetahui selesainya shalat pada masa Nabi karena suara dzikir yang keras".
dianggap bertentangan dengan al-Qur’an dan beberapa hadis lainnya. 
Dalam surat Al-A‘raf ayat 55 Allah berfirman: 
Artinya: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Surat Al-A‘raf ayat 205 yang artinya:
Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang - orang yang lalai”.
Dari dua ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar berdoa dan berdzikir dengan merendahkan diri dengan cara tidak dengan mengeraskan suara.
Untuk menegaskan pendapat tersebut, beberapa hadits yakni sebagai berikut: 
Diriwayatkan dari Abu Musa, ia berkata: Kami pernah bersama Nabi saw dalam suatu perjalanan, kemudian orang-orang mengeraskan suara dengan bertakbir. Lalu Nabi saw bersabda: Wahai manusia, rendahkanlah suaramu. Sebab sesungguhnya kamu tidak berdoa kepada (Tuhan) yang tuli, dan tidak pula jauh, tetapi kamu sedang berdoa kepada (Allah) Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat.” (HR. Muslim) 
Demikian pula hadits yang diriwayatkan Abu Musa, menegaskan agar merendahkan suara dalam berdoa kepada Allah, sebab Allah Swt tidak tuli dan tidak jauh, melainkan Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.  
Dalam hadist yang lain Rasulullah bersabda:  “Wahai sekalian manusia, masing-masing kalian bermunajat (berbisik-bisik) kepada Rabb kalian, maka janganlah sebagian kalian men-jahar-kan bacaannya dengan mengganggu sebagian yang lain.” 
Al-Baghawi menambahkan hadis tersebut dengan sanad yang kuat.  "Sehingga mengganggu kaum mu'minin (yang sedang bermunajat)".
2. Suara Keras
Untuk mendapatkan kekhusyuan dalam berdzikir, ada orang melakukan dengan cara mengeraskan suara atau justru dengan memelankan dan hampir tidak bersuara.  Satu sisi, memang terdapat dalil-dalil yang menyuruh ummat muslim untuk berdzikir dengan suara yang lemah lembut, dan pada sisi yang lain terdapat pula dalil yang membolehkan untuk berdzikir dengan suara keras.
Beberapa dalil yang menunjukkan kebolehan dzikir dengan suara keras setelah shalat antara lain hadist riwayat Ibnu Abbas:  “Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan masjid.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Adra’ juga pernah berkata: "Pernah saya berjalan bersama Rasulullah SAW lalu bertemu dengan seorang laki-laki di Masjid yang sedang mengeraskan suaranya untuk berdzikir. Saya berkata, wahai Rasulullah mungkin dia (melakukan itu) dalam keadaan riya'. Rasulullah SAW menjawab: "Tidak, tapi dia sedang mencari ketenangan."
Sementara dalil yang menjelaskan keutamaan berdzikir dengan secara pelan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Sa'd bin Malik bahwasannya Rasulullah saw bersabda: 
"Keutamaan dzikir adalah yang pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi." 

Imam Nawawi mengkompromikan (al-jam‟u wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama‘ah, menghilangkan kantuk serta menambah semangat." (Ruhul Bayan, Juz III).   
QUNUT SHUBUH

A. Mensunnahkan

Pendapat madzhab yang menetapkan bahwa qunut subuh adalah sunnah menyatakan bahwa Rasulullah SAW ketika mengangkat kepala dari ruku‘(i‘tidal) pada raka‘at kedua shalat Shubuh beliau membaca qunut. Dan demikian itu ―Rasulullah SAW lakukan sampai meninggal dunia (wafat). (HR. Ahmad dan Abd Raziq).  Imam Nawawi menerangkan dalam kitab Majmu‘nya:  
―Dalam Madzhab kita (madzhab Syafi’i) disunnahkan membaca qunut dalam shalat Shubuh, baik karena ada mushibah maupun tidak. Inilah pendapat mayoritas ulama salaf. (al-Majmu’, juz 1 : 504) 
Chalil Nafis menjelaskan bahwa melakukan qunut shalat subuh adalah sunnah ab’adh, yakni ibadah sunnah yang jika lupa tertinggal mengerjakannya disunatkan melakukan sujud sahwi setelah duduk dan membaca tahiyat akhir sebelum salam.  Terdapat pula hadis-hadis yang menguatkan pendapat tersebut, yakni: Hadis Anas r.a:  
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. berqunut selama sebulan mendoakan kebinasaan atas mereka, kemudian meninggalkannya. Maka adapun pada sembahyang subuh, beginda masih berqunut sehingga wafat. (HR jamaah dan dianggap sahih oleh al-Hakim, alBaihaqi, al-Daruquthni dll.)  
Riiwayat dari al-Awwam bin Hamzah, katanya: “Aku bertanya Abu Usman mengenai qunut pada sembahyang subuh, dia berkata: Selepas rukuk. Aku berkata: Dari siapa? Dia berkata: Dari Abu Bakar, Umar dan Ustman. (HR al-Baihaqi dan dianggapnya sebagai sahih)
Riwayat al-Baihaqi dari Abdullah bin Mua’qqal, katanya: “Ali berqunut pada sembahyang subuh.”  Di dalam al-Mudauwanah al-Kubra: Waqi’ berkata dari Fithr dari Atho’, “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. berqunut pada sembahyang subuh, dan sesungguhnya Abu Musa al-Asy’ari, Abu Bakrah, Ibnu Abbas dan al-Hasan berqunut pada sembahyang subuh.”  Riwayatkan dari Anas bin Malik dan Abu Rafi’ bahwa kedua-duanya bersembahyang subuh di belakang Umar, dia berqunut selepas rukuk.  

B. Tidak Mensunnahkan

Bagi orang atau kelompok yang tidak sependapat dengan pemahaman disunnahkannya qunut pada shalat shubuh berdasarkan pemikiran bahwa:
1) Setelah diteliti kumpulan maam-macam hadis tentang qunut, maka muktamar berpendapat bahwa qunut sebagai bagian dari pada shalat tidak khusus hanya diutamakan pada shalat subuh (keterangan dibawah)
2) Bacaan do’a: ―Allahummahdini fiman hadait… dan seterusnya­ tersebut tidaklah sah (keterangan dibawah)
3) Penerapan hadis hasan tentang do’a tersebut dalam phoin (2) untuk khusus dalam qunut subuh tidak dibenarkan (keterangan dibawah)
Al-Ustadz Abu Muhammad Dzulkarnain, yang menyangkal disunnahkannya qunut subuh.   Abu Muhammad Dzulkarnain mengatakan bahwa, dalil hadis: Terus-menerus Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam qunut pada sholat subuh sampai beliau meninggal dunia yang dikeluarkan oleh Abdurrozzaq dalam Al Mushonnaf 3/110 no.4964, terdapat dalam kitab-kitab lain adalah mungkar”. Menurutnya, hadits ini memang dishahihkan oleh Muhammad bin Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim sebagaimana dalam Khulashotul Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula oleh Imam Al-Baihaqy. Namun Imam Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy berkata: Bagaimana bisa sanadnya menjadi shahih sedang rawi yang meriwayatkannya dari Ar-Rob I’ bin Anas adalah Abu Ja’far Isa bin Mahan Ar-Rozy mutakallamun fihi (dikritik). Berkata Ibnu Hambal dan An-Nasa`i: Laysa bil qowy (bukan orang yang kuat). Berkata Abu Zur‘ah: Yahimu katsiran (Banyak salahnya). Berkata AlFallas: ―Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya). Dan berkata Ibnu Hibban: ―Dia bercerita dari rawi-rawi yang masyhur hal-hal yang mungkar.  Lebih jauh, Abu Muhammad Dzulkarnain mengutip pendapat Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma‘ad jilid I setelah menukil suatu keterangan dari gurunya Ibnu Taimiyah tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang diriwayatkan oleh Abu Ja‘far Ar-Rozy, beliau berkata: ―Dan yang dimaksudkan bahwa Abu Ja’far Ar-Rozy adalah orang yang memiliki hadits-hadits yang mungkar, sama sekali tidak dipakai berhujjah oleh seorang pun dari para ahli hadits periwayatan haditsnya yang ia bersendirian dengannya.  Hadits yang sedang kita bahas itu memiliki tiga jalan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, tetapi semuanya jalan tersebut dianggap lemah. Di antara mereka yang melemahkannya adalah adalah Ibnul Jauzi dalam al-Ilal al Mutnahiyah (1/444), Ibnu at Turkimani dalam Ta‘liq ‘ala al Baihaqi, Ibnu Taimiyyah dalam Majmu‘ Fatawa (22/374), Ibnu Qayyim dalam Zadul Ma‘ad (1/99), al Hafidz Ibnu Hajar dalam at Talkhis al Khabir (1/245). Dan diantara ulama mutaakhkhirin adalah al Albani dalam silsilah ad Dha‘ifah (1/1238). Selain itu, hadis tersebut bertentangan dengan logika; yaitu bagaimana mungkin Nabi saw. selalu qunut dalam shalat subuh dan membaca do‘a rutin sementara tidak diketahui sama sekali do’a yang dibaca itu. Tidak dalam hadits shahih maupun dhaif.
Para sahabat yang paling mengerti tentang sunnah seperti Ibnu Umar radhiallahu‘anhuma mengingkarinya dengan mengatakan: “Kami tidak pernah melihat dan tidak mendengarnya.” Apakah masuk akal jika dikatakan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam selalu qunut, sedangkan Ibnu Umar radhiallahu‘anhu bersaksi: “Kami tidak pernah melihat dan mendengarnya?” demikian, sebagaimana termaktub dalam Majmu’ Fatawa. Selain itu, beberapa dalil yang biasanya dipakai untuk menyangkal pendapat yang mengatakan qunut subuh adalah sunnah adalah hadist berikut:
Dari Abu Malik al-Asyaja’i, katanya: ―Aku berkata kepada ayahku: “Wahai ayahku, sesungguhnya engkau pernah bersembahyang di belakang Rasulullah s.a.w., Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, di sini di Kufah selama hampir lima tahun, adakah mereka berqunut?” Dia menjawab: “Wahai anakku itu adalah bid’ah. (HR Ahmad, al-Tarmizi & Ibnu Majah) 
Ibnu Mas‘ud, berkata: ―Rasulullah saw. tidak pernah berqunut di dalam sembahyangnya sekalipun. (HR al-Thabrani, al-Baihaqi & al-Hakim)

Sesungguhnya Nabi saw. pernah berqunut sebulan lamanya, kemudian baginda meninggalkannya (tidak berqunut lagi). (HR Ahmad) 
Qunut Nazilah 

A. Yang Mensunnahkan 
Dalam sebuah tanyajawab Gus Mus tentang Qunut Nazilah yang pernah dimuat www.pesantrenvirtual.com, KH. Musthafa Bisri atau yang akrab di sapa Gus Mus menulis bahwa mengartikan qunut dengan tunduk; merendahkan diri kepada Allah; mengheningkan cipta; berdiri shalat. Kemudian, dalam perkembangannya, qunut di gunakan untuk do’a tertentu di dalam shalat.  Nazilah sendiri biasa diartikan dengan ―musibah. Nabi Muhammad SAW, demikian tulis Gus Mus, pernah berqunut pada setiap 5 waktu shalat, yaitu salahsatunya pada saat ada nazilah (musibah). Pernah pula Nabi melakukan qunut muthlaq, yakni qunut yang dilakukan tanpa sebab yang khusus. Jadi, qunut nazilah adalah qunut yang dilakukan saat terjadi malapetaka yang menimpa kaum muslimin. Seperti dulu ketika Rasulullah SAW atas permintaan Ri'l Dzukwan dan 'Ushiyyah dari kabilah Sulaim, mengirim 70 orang Qura‘(semacam guru ngaji) untuk mengajarkan soal agama kepada kaum mereka. Dan ternyata setelah sampai di suatu tempat yang bernama Bi'r alMa'uunah orang-orang itu berkhianat dan membunuh ketujuh puluh orang Quraa tersebut. Mendengar itu Rasulullah SAW berdoa dalam shalat untuk kaum mustadh'afiin, orang-orang yang tertindas, di Mekkah.  Qunut Nazilah adalah sunnah hai‘ah hukumnya (kalau lupa tertingal tidak disunatkan bersujud sahwi). Hal ini sebagaimana menurut Imam Syafi'i, qunut nazilah disunnahkan pada setiap shalat 5 waktu, setelah ruku' yang terakhir, baik oleh imam atau yang shalat sendirian (munfarid): bagi yang makmum tinggal mengamini do’a imam.  Dasar disunnahkannya qunut nazilah oleh kalangan NU antara lain hadist Nabi yang artinya:  “Rasulullah SAW kalau hendak mendoakan untuk kebaikan seseorang atau doa atas kejahatan seseorang, maka beliau doa qunut setelah ruku‟ (HR. Bukhori dan Ahmad). 
Sementara bacaan do’a untuk qunut nazilah samadengan qunut subuh, Hanya biasanya dalam qunut nazilah ditambahkan sesuai kepentingan yang berkaitan dengan musibah yang terjadi. Disunnahkannya qunut nazilah yang sejalan dengan pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa‘d, Yahya bin Yahya Al-Laitsy dan ahli fiqh dari para ulama ahlul hadits. Qunut nazilah tidaklah manzukh sejak turunnya al-Qur‘an surat alimran ayat 128, sebagaimana hadist Abu Hurairah riwayat Bukhari-Muslim yang artinya:  “Adalah Rasulullah shollallahu „alaihi wa alihi wa sallam ketika selesai membaca (surat dari raka‟at kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (I‟tidal) berkata: “Sami‟allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa dalaam keadaan berdiri. “Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, „Ayyasy bin Abi Rabi‟ah dan orang-orang yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri‟lu, Dzakwan dan „Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya tatkala telah turun ayat: “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”. (HR.Bukhari-Muslim)  
Menurut kalangan yang sepakat masih disunnahkannya qunut nazilah, termasuk kalangan NU pada umumnya, berpendapat bahwa berdalilkan dengan hadits tersebut di atas menganggap mansukh-nya qunut adalah pendalilan yang lemah, karena dua hal: Pertama: ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara yang ghoib.  Kedua: sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang artinya:  
Dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu beliau berkata: “Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan untuk kalian cara shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya‟ dan Shubuh. Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir”. (HR. Bukhari) 
Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum mansukh. Andaikata qunut nazilah telah mansukh tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara sholat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan qunut nazilah.
B. Yang Tidak Mensunnahkan
Pemahaman yang berlainan mengenai hadis yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw tidak mengerjakan qunut Nazilah setelah diturunkan surat Ali Imran ayat 128:

Artinya:  Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima Taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.
Dalam do’a itu Rasulullah mohon dikutuknya mereka yang telah melakukan kejahatan dan dimohonkan pembalasan Allah terhadap mereka. Kemudian turunlah ayat di atas.  Pemahaman yang timbul dari riwayat tersebut ialah: 
1. Bahwa qunut nazilah tidak boleh lagi diamalkan

2. Boleh dikerjakan dengan tidak menggunakan kata kutukan dan permohonan terhadap perorangan.   

1. Khatib Tidak Memegang Tongkat
Hadist dari Saib Bin Yazid: "Pada awalnya, adzan Jum'at dilakukan pada saat imam berada di atas mimbar yaitu pada masa Nabi SAW, Abu bakar dan Umar, tetapi setelah zaman Ustman dan manusia semakin banyak maka Sahabat Ustman menambah adzan menjadi tiga kali (memasukkan iqamat), menurut riwayat Imam Bukhori menambah adzan menjadi dua kali (tanpa memasukkan iqamat). (H.R. riwayat Jama'ah kecuali Imam Muslim). 
Dengan hadist di atas Ibnu al-Qoyyim berpendapat, "Ketika Nabi keluar dari rumahnya langsung naik mimbar kemudian Bilal mengumandangkan adzan. Setelah adzan selesai Nabi SAW langsung berkhutbah tanpa adanya pemisah antara adzan dan khutbah”. Dalam hal itu tidak ada penjelasan bahwa Nabi memegang tongkat pada waktu pelaksanaan ibadah Jum’at. Tuntunan demikian juga didasarkan pada pandangan hadist Sumarah r.a. Ibnu Umar, dari Hadist Abu Hurairah, yang artinya: “Karena hadist riyawat jama’ah kecuali Bukhari dan Tirmidzi dari Jabir bin Samurah r.a. yang berkata: “Adalah Rasulullah berkhutbah sambil berdiri dan duduk di antara dua khutbah, dan membaca beberapa ayat al-Qur’an dan memberi peringatan kepada orang banyak.”
2. Khatib Memegang Tongkat
Dalam kitab al-Umm diterangkan: Imam Syafi'i berkata: “Telah sampai kepada kami (berita) bahwa ketika Rasulullah saw berkhuthbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang mengatakan, beliau berkhutbah dengan memegang tongkat pendek dan anak panah. Semua benda-benda itu dijadikan tempat bertumpu (pegangan). Ar-Rabi' mengabarkan dari Imam Syafi'i dari Ibrahim, dari Laits dari 'Atha', bahwa Rasulullah SAW jika berkhutbah memegang tongkat pendeknya untuk dijadikan pegangan". (al-Umm) Hadist Rasulullah saw, yang artinya:  
Dari Syu'aib bin Zuraidj at-Tha'ifi ia berkata ''Kami menghadiri shalat Jum'at pada suatu tempat bersama Rasulullah SAW. Maka Beliau berdiri berpegangan pada sebuah tongkat atau busur". (Sunan Abi Dawud).

Al Gazali dalam Ihya Ulumuddin, juga telah menulis: Apabila muadzin telah selesai (adzan), maka khatib berdiri menghadap jama' ah dengan wajahnya. Tidak boleh menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan kedua tangannya memegang pedang yang ditegakkan atau tongkat pendek serta (tangan yang satunya memegang) mimbar. Supaya dia tidak mempermainkan kedua tangannya. (Kalau tidak begitu) atau dia menyatukan tangan yang satu dengan yang lain". (Ihya' 'Ulum al-Din)  

1. Adzan Jum’at Satu Kali
Hadis dari Syaib bin Yazid yang artinya: “Karena hadis riwayat Bukhari, Nasai dan Abu dawud dari Saib bin Yazid r.a, yang berkata: “Adapun seruan pada hari Jum’ah itu pertama (adzan) tatkala Imam duduk di atas mimbar, pada masa Rasulullah SAW, pada masa Khalifah Abu Bakar r.a, pada masa Khalifah Umar r.a, setelah tiba masa Khalifah Utsman r.a, dan orang semakin banyak maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura (nama tempat di pasar) yang mana pada masa Nabi Saw hanya ada seorang Muadzain.”. bagi orang atau kelompok yang menjalankan adzan jum’at satu kali mengacu pada masa Rasulullah yang berarti apa yang dilakukan oleh Khalifah Utsman tidak dilanjutkan.  Adapun alasan Ulama lain yang berpendapat bahwa adzan jum’at hanya satu kali adalah bahwa Khalifah Utsman menambahkan adzan pertama karena suatu alasan yang masuk akal, yakni pada masa itu kaum Muslimin semakin banyak jumlahnya dan tempat-tempat mereka berjauhan dari Masjid Nabawi. Beliau hanya ingin menyampaikan kepada mereka (kaum Muslimin) tentang masuknya waktu shalat, dengan mengqiyaskan shalat-shalat lainnya. Oleh karena itu, beliau memasukkan shalat Jum‘at ke dalamnya dan menetapkan kekhususan Jum‘at dengan adzan di depan khatib.
Syaikh al-Albani dalam al-Ajwibah an-Nafi’ah berpendapat bahwa kondisi sekarang dianggap sudah tidak memerlukan adzan tambahan sebelum khatib naik mimbar. Hampir tidak ada seorang pun yang berjalan beberapa langkah, melainkan pasti mendengar adzan Jum‘at dari menara-menara masjid. Apalagi alat-alat pengeras suara telah dipasang di menara-menara tersebut, jam-jam penunjuk waktu dan selainnya telah tersebar di mana-mana. Ada pula yang berpendapat bahwa, melakukan adzan Jum’at sama seperti yang dilakukan oleh Utsman r.a. sekarang ini termasuk di dalam tashiilul haashil (berusaha mewujudkan sesuatu yang sudah ada) dan ini tidak boleh, terutama masalah ini mengandung unsur tambahan atas sunnah yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. tanpa alasan yang membenarkannya. Pendapat tersebut mencoba dikuatkan dengan mencermati lagi sejarah, di mana Ali bin Abi Thalib r.a ketika berada di Kuffah merasa cukup dengan sunnah Rasulullah saw tidak melakukan seperti yang dilakukan oleh Utsman r.a., hal ini seperti yang diungkap di dalam Tafsir al-Qurthubi. 

2. Adzan Jum’at Dua Kali
Dari Sa'ib ia berkata, "Saya mendengar dari Sa'ib bin Yazid, beliau berkata, “Sesungguhnya adzan di hari jumat pada asalnya ketika masa Rasulullah SAW, Abu Bakar RA dan Umar RA dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika masa Khalifah Utsman RA dan kaum muslimin sudah banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di atas Zaura' (nama pasar). Maka tetaplah hal tersebut (sampai sekarang)". (Shahih al-Bukhari). Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Syaikh Zainuddin al-Malibari, pengarang kitab Fath alMu'in, yang mengatakan: "Disunnahkan adzan dua kali untuk shalat Shubuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dan sunnah dua adzan untuk shalat Jum'at. Salah satunya setelah khatib naik ke mimbar dan yang lain sebelumnya". (Fath alMu'in: 15). Orang atau kelompok yang menjalankan adzan jum’at sebanyak dua kali menganggap bahwa ijtihad Utsman sebagai ijma’ sukuti, yaitu kesepakatan para sahabat Nabi SAW terhadap hukum suatu kasus dengan cara tidak mengingkarinya. Ijma’ sukuti dianggap memiliki landasan yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma' para sahabat. Hal ini sebagaimana termaktub dalam kitab al-Mawahib al Laduniyah sebagaimana juga dikutip oleh Cholil Nafis sebagai berikut:  "Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ustman ra. itu merupakan ijma' sukuti (kesepakatan tidak langsung) karena para sahabat yang lain tidak menentang kebijakan tersebut” (al-Mawahib al Laduniyah,  juz II,: 249). 
Ulama yang berpendapat adzan jum’at dua kali menerangkan bahwa pengambilan hukum tersebut tidak mengubah sunah Rasul karena mengikuti Utsman bin Affan r.a. itu juga berarti ikut Rasulullah SAW. Sebab Rasulullah saw telah bersabda yang artinya: "Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah alKhulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal) 

Pendapat lain beralasan bahwa adzan Jumat dua kali memang perbuatan yang tidak diperintahkan, tetapi juga tidak dilarang, dan mengandung unsur maslahah, selain juga dianggap ijma’ sukuti jadi tidak ada masalah dalam pelaksanaannya.
1. Niat yang di Lafalkan
Melafalkan niat shalat ketika menjelang takbiratul ihram sudah menjadi kebiasaan sebagian besar warga Indonesia khususnya. Lafadl niat shalat diawali dengan kalimah “ushalli” yang artinya “aku berniat melakukan shalat”. Hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ikhram, menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi‘iy (Syafi‘iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah. Hal ini dikarenakan melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya. Melafadhkan niat shalat merupakan wujud dari kehati-hatian. Sebab, jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya.
Hadist Rasul tentang pelafalan niat dalam suatu ibadah wajib yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji.  
―Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”." (HR. Muslim). 
Memang, ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu bukan untuk ibadah shalat, bukan pula wudhu, dan puasa, melaikan ibadah haji. Apa yang dilakukan Nabi bisa diqiyaskan atau dianalogikan, yakni disunnahkannya pelafalan niat shalat. 
Untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat hal yaitu, 
1. Islam
2. Berakal sehat (tamyiz)
3. Mengetahui sesuatu yang diniatkan
4. Tidak ada sesuatu yang merusak niat.  
Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal yaitu:
Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang beri‘tikaf di masjid dengan orang yang beristirah di masjid.
Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat Ashar.  Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi pernah dilakukan Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya, maka hukum melafalkan niat adalah sunnah. Selain itu, dasar-dasar tersebut di atas, melafalkan niat (Talaffudz Binniyah) juga berdasar kepada al-Qur‘an yang artinya sebagai berikut:  
Artinya: Tidaklah seseorang itu mengucapkan suatu perkataan melainkan disisinya ada malaikat pencatat amal kebaikan dan amal kejelekan. (Qaaf: 18)
Artinya: Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. dan rencana jahat mereka akan hancur.(Q.S Fathir: 10) 

2. Niat yang Tidak di Lafalkan
Hadits dari Malik bin Huwairits ra. bahwa Rasulullah saw. Bersabda, yang artinya: 
"Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku melakukan shalat". (HR. al-Bukhari). 
Hadist tersebut menjadi salah satu dasar bahwa niat dalam shalat tidak perlu dilafalkan. Karena memang tidak ada dalil yang memerintahkan atau tidak ada peristiwa di mana para shahabat Nabi melihat Nabi Muhammad melafalkan niat dalam shalat. 
Dalil lain yaitu hadist shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi, yang artinya:  "Kunci (pembuka) shalat itu wudlu, permulaannya takbir dan penghabisannya salam". 
Hadist shahih dari Ibnu Majah yang dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dari hadis Abi Humaid Sa'idi bahwa Rasulullah, jika shalat ia menghadap ke Qiblat dan mengangkat kedua belah tangannya dengan membaca "Allahu Akbar".  Niat sholat itu sesuatu yang wajib hukumnya dalam shalat. Hal ini didasaarkan firman Allah surah al-Bayyinah 6: 
Artinya: "Dan tidaklah mereka diperintah melainkan supaya menyembah kepada Allah dengan ikhlas kepadaNya daam menjalankan Agama".  
Juga hadis rasulullah:  “Sesungguhnya (sahnya) amal itu tergantung kepada niat." (HR. al-Bukhari dan Muslim) 

Niat itu, kata Syakir, di dalam hati secara ikhlas karena Allah semata. Niat adalah perbuatan hati, bukan perbuatan mulut sehingga tidak perlu diucapkan. Tidak ada satu pun hadis, baik yang dhaif (lemah), dan sahih menjelaskan tentang adanya tuntunan melafalkan niat ketika hendak memulai shalat.  Selain itu, argumen lain dari tidak disunnahkannya melafalkan niat shalat adalah, bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hati setiap orang, maka niat tidak perlu diucapkan. Dia hanyalah suatu niat yang tempatnya di hati. Dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara ibadah haji dan yang lainnya.  Berkaitan dengan hadis Rasulullah dijadikan dalil bahwa niat juga pernah diucapkan Rasulullah sebelum haji, maka pihak yang menolak di sunnahkannya melafalkan niat sebelum shalat menganggap bahwa apa yang dicapkan Nabi tersebut adalah talbiyah sesuai dengan yang dia niatkan. Dan talbiyah bukanlah merupakan pengkabaran niat karena talbiyah mengandung jawaban terhadap panggilan Allah. Maka talbiyah itu sendiri merupakan dzikir dan bukan pengkabaran tentang apa yang diniatkan di dalam hati.  

Ayat yang mula-mula diturunkan ketika Nabi di dalam gua Hira adalah:    

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS Al-‘Alaq [96]:1-5)

Setelah itu Allah menurunkan ayat:

“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan!, dan Tuhanmu agungkanlah!, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah. Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit, bagi orang-orang kafir lagi tidak mudah.” (QS Al-Muddatstsir [74]: 1-10)
Jelasnya, sesudah Nabi menerima tugas yang terang untuk menyampaikan undang-undang islam kepada para manusia dengan firman:

“bangunlah, lalu berilah peringatan!.” (QS Al-Muddatstsir [74]: 2)
Kemudian wahyu berhenti, tidak turun lagi. Menurut pendapat Ibnu Ishaq, tiga tahun lamanya wahyu tidak diturunkan. Dalam hal itu ada yang mengatakan selama dua tahun setengah, ada yang mengatakan selama empat puluh hari, ada yang mengatakan selama lima belas hari dan ada yang mengatakan selama tiga hari. Setelah Nabi merasa kecewa karena tidak turun wahyu yang sangat dirindukan, kemudian turunlah surat Adh-Dhuha.

Dapat diketahui dari keadaan-keadaan yang mengitari turun surat ini, bahwa dia diturunkan dalam tahun yang ketiga setelah Nabi dibangkit, atau ketika Nabi berumur empat puluh tiga tahun. Inilah surat yang diturunkan ketiga dalam tahun yang ketiga setelah Nabi diangkat menjadi Rasul. Sesudah itu bar uterus beriringan Al-Qur’an diturunkan menurut kejadian-kejadian yang memerlukannya dan tidak pernah lagi putus.

Pada permulaan tahun yang keempat dari kebangkitannya, barulah Rasulullah memulai tugasnya menjalankan dakwah secara terang-terangan yaitu mengajak umat kedalam agama yang dibawanya dengan cara terbuka dan tidak lagi bersembunyi-sembunyi guna memenuhi kehendak ayat:
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan"; (QS Asy-Syu’ara: 214-216)


Dr. Subkhi tidak membenarkan pendapat yang menyatakan bahwa surat Adh-Dhuha merupakan permulaan surat yang diturunkan setelah putus wahyu.