Perbedaan Niat Shalat: Niat Shalat Anda Termasuk yang mana? di Lafalkan atau tidak? ini Dasarnya

1. Niat yang di Lafalkan
Melafalkan niat shalat ketika menjelang takbiratul ihram sudah menjadi kebiasaan sebagian besar warga Indonesia khususnya. Lafadl niat shalat diawali dengan kalimah “ushalli” yang artinya “aku berniat melakukan shalat”. Hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ikhram, menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi‘iy (Syafi‘iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah. Hal ini dikarenakan melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya. Melafadhkan niat shalat merupakan wujud dari kehati-hatian. Sebab, jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya.
Hadist Rasul tentang pelafalan niat dalam suatu ibadah wajib yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah haji.  
―Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”." (HR. Muslim). 
Memang, ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu bukan untuk ibadah shalat, bukan pula wudhu, dan puasa, melaikan ibadah haji. Apa yang dilakukan Nabi bisa diqiyaskan atau dianalogikan, yakni disunnahkannya pelafalan niat shalat. 
Untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat hal yaitu, 
1. Islam
2. Berakal sehat (tamyiz)
3. Mengetahui sesuatu yang diniatkan
4. Tidak ada sesuatu yang merusak niat.  
Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal yaitu:
Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang beri‘tikaf di masjid dengan orang yang beristirah di masjid.
Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat Ashar.  Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi pernah dilakukan Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya, maka hukum melafalkan niat adalah sunnah. Selain itu, dasar-dasar tersebut di atas, melafalkan niat (Talaffudz Binniyah) juga berdasar kepada al-Qur‘an yang artinya sebagai berikut:  
Artinya: Tidaklah seseorang itu mengucapkan suatu perkataan melainkan disisinya ada malaikat pencatat amal kebaikan dan amal kejelekan. (Qaaf: 18)
Artinya: Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. dan rencana jahat mereka akan hancur.(Q.S Fathir: 10) 

2. Niat yang Tidak di Lafalkan
Hadits dari Malik bin Huwairits ra. bahwa Rasulullah saw. Bersabda, yang artinya: 
"Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku melakukan shalat". (HR. al-Bukhari). 
Hadist tersebut menjadi salah satu dasar bahwa niat dalam shalat tidak perlu dilafalkan. Karena memang tidak ada dalil yang memerintahkan atau tidak ada peristiwa di mana para shahabat Nabi melihat Nabi Muhammad melafalkan niat dalam shalat. 
Dalil lain yaitu hadist shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi, yang artinya:  "Kunci (pembuka) shalat itu wudlu, permulaannya takbir dan penghabisannya salam". 
Hadist shahih dari Ibnu Majah yang dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dari hadis Abi Humaid Sa'idi bahwa Rasulullah, jika shalat ia menghadap ke Qiblat dan mengangkat kedua belah tangannya dengan membaca "Allahu Akbar".  Niat sholat itu sesuatu yang wajib hukumnya dalam shalat. Hal ini didasaarkan firman Allah surah al-Bayyinah 6: 
Artinya: "Dan tidaklah mereka diperintah melainkan supaya menyembah kepada Allah dengan ikhlas kepadaNya daam menjalankan Agama".  
Juga hadis rasulullah:  “Sesungguhnya (sahnya) amal itu tergantung kepada niat." (HR. al-Bukhari dan Muslim) 

Niat itu, kata Syakir, di dalam hati secara ikhlas karena Allah semata. Niat adalah perbuatan hati, bukan perbuatan mulut sehingga tidak perlu diucapkan. Tidak ada satu pun hadis, baik yang dhaif (lemah), dan sahih menjelaskan tentang adanya tuntunan melafalkan niat ketika hendak memulai shalat.  Selain itu, argumen lain dari tidak disunnahkannya melafalkan niat shalat adalah, bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hati setiap orang, maka niat tidak perlu diucapkan. Dia hanyalah suatu niat yang tempatnya di hati. Dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara ibadah haji dan yang lainnya.  Berkaitan dengan hadis Rasulullah dijadikan dalil bahwa niat juga pernah diucapkan Rasulullah sebelum haji, maka pihak yang menolak di sunnahkannya melafalkan niat sebelum shalat menganggap bahwa apa yang dicapkan Nabi tersebut adalah talbiyah sesuai dengan yang dia niatkan. Dan talbiyah bukanlah merupakan pengkabaran niat karena talbiyah mengandung jawaban terhadap panggilan Allah. Maka talbiyah itu sendiri merupakan dzikir dan bukan pengkabaran tentang apa yang diniatkan di dalam hati.  

0 komentar:

Posting Komentar